Pencegahan Anemia dan Stunting
Stunting
dan anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang saling terkait dan
merupakan masalah besar di banyak negara, termasuk di Indonesia. Kedua kondisi
ini sangat memengaruhi kesehatan, tumbuh kembang, dan kesejahteraan masyarakat,
terutama bagi anak-anak dan ibu hamil.
Anemia adalah ketika jumlah sel darah merah atau hemoglobin dalam darah lebih rendah dari normal. Secara global, diperkirakan 1,5 miliar orang menderita anemia, dengan kasus tertinggi pada anak-anak dan wanita usia subur. Menurut WHO estimasi anemia global pada wanita usia reproduksi, berdasarkan status kehamilan, dan pada anak usia 6-59 bulan. Kementerian kesehatan mengatakan untuk mencegah anemia perlu melakukan tindakan khusus dengan memberikan Tablet Tambah Darah (TTD) pada wanita muda dan ibu hamil. Selain itu, Kementerian Kesehatan juga menangani anemia melalui pendidikan dan promosi gizi seimbang, penguatan zat besi dalam makanan, dan penerapan gaya hidup bersih dan sehat. Sejak tahun 2016, Indonesia telah berkomitmen untuk mengatasi triple burden malnutrisi dengan memberikan tablet darah tambahan kepada remaja perempuan.Kekurangan asupan zat besi, infeksi parasit, dan penyakit jangka panjang adalah penyebab utama anemia. Anemia memiliki banyak efek, termasuk kelelahan, penurunan produktivitas, masalah kognitif, dan komplikasi kehamilan. Anemia dapat mengganggu perkembangan dan menurunkan daya tahan tubuh anak. Upaya penanggulangan anemia membutuhkan pendekatan multisektoral, termasuk suplementasi zat besi, fortifikasi pangan, serta perbaikan sanitasi dan gizi masyarakat.
Stunting
adalah gagal tumbuh yang disebabkan oleh kekurangan gizi jangka panjang pada
anak, terutama selama 1.000 hari pertama kehidupan mereka. Anak-anak dengan
stunting memiliki tinggi badan yang lebih rendah daripada anak seusia mereka. Di
seluruh dunia, terdapat sekitar 149 juta anak di bawah usia 5 tahun yang
mengalami stunting. Seluruh pihak yang terlibat dalam percepatan penanganan
stunting berhasil menurunkan prevalensi stunting sebesar 9,3%, atau rata-rata
1,85% per tahun, dalam lima tahun, dari 30,8% pada tahun 2018 menjadi 21,5%
pada tahun 2023. Karena capaian tersebut sangat penting, penanganan stunting di
Indonesia harus dilanjutkan. Kekurangan asupan gizi, penyakit infeksi jangka
panjang, kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi, dan praktik pengasuhan
anak yang tidak optimal adalah penyebab utama stunting. Stunting memiliki
dampak yang sangat luas, mulai dari penurunan perkembangan kognitif dan motorik
anak hingga peningkatan kemungkinan penyakit tidak menular di masa dewasa. Dari
argumen yang di lontarkan oleh bapak wapres, bahwa keberlanjutan program
mengenai pencegahan stunting perlu disusun dan diteruskan dalam upaya
menurunkan angka stunting di Indonesia. Kumudian pada hari Kamis pada tanggal
23 Februari tahun 2023 Sesuai dengan
arahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo bahwa setiap pemerintah daerah
harus dapat menekan angka stunting di wilayahnya masing-masing, pemerintah
Kabupaten Bekasi berharap angka stunting turun di angka 14% pada tahun 2024.Di
Aula KH. Noer Ali, Komplek Pemda Cikarang Pusat, Rapat Percepatan Penurunan
Stunting dibuka oleh Pj. Bupati Bekasi Dani Ramdan, bersama seluruh Perangkat
Daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bekasi.
Stunting dan anemia saling terkait dan sering terjadi pada saat yang sama. Faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan yang kompleks memengaruhi keduanya. Faktor utama yang memperburuk prevalensi anemia dan stunting adalah kemiskinan, ketidaksetaraan, dan akses yang terbatas terhadap layanan kesehatan dan gizi. Membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai sektor, seperti kesehatan, pendidikan, pertanian, dan perlindungan sosial, untuk menangani anemia dan stunting. Untuk mengatasi masalah ini secara menyeluruh dan berkelanjutan, pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya harus berkomitmen dengan kuat.
Komentar
Posting Komentar